![]() |
Gambar Ilustrasi : di ambil dari sini |
“ Terus-menerus seseorang itu suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat dia datang dalam keadaan di wajahnya tidak ada sepotong dagingpun.” (HR. Al-Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1725).
29 November 2013
29 November 2013
Berita di salah satu jejaring
social membuatku shock, terperanjat, seolah tidak terima kenyataan dan serasa
aneh aja… pasalnya surat kabar elektronik ternama di Indonesia yang masih satu
grup dengan Transcorp itu mengabarkan bahwa di daerah Pancoran 2 orang pengemis
terjaring razia tanggal 26 November 2013 malam oleh petugas Suku Dinas Sosial setempat dan
tertangkap tangan memiliki uang sejumlah 25jt di dalam gerobaknya. Apalagi
ketika di beritakan dari hasil investigasi bahwa uang tersebut adalah
penghasilannya selama 2 minggu bekerja sebagai pengemis Ibukota. Hwaaa….itu
gajiku di tambah bonus dan nyambi sana-sini sebulan juga belum tentu bisa
menyamakan penghasilannya yang super duper ….anjriiit !!! #ilfil L
Berita tentang pengemis yang
memiliki penghasilan jauh di atas rata-rata penghasilan pegawai kantoran.. bagiku
kabar ini bukan untuk yang pertama kalinya. Itulah sebabnya aku enggan untuk
memberikan seseorang yang menjadikan mengemis sebagai satu profesi. Bahkan jauh
sebelum ada berita ini aku sudah memutuskan untuk tidak memberikan uang atau
apapun bentuknya kepada para “actor” jalanan (baca=pengemis), ditambah lagi
dengan pemberitaan sejenis yang semakin marak seperti sekarang ini. Karena secara
tidak langsung hal tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap orang – orang
seperti mereka untuk malas mencari penghasilan yang lebih baik. Meskipun
hasilnya sangat besar dan nyaris tidak masuk akal, tapi dimata orang lain yang
melihat, pekerjaan tersebut selain tidak manusiawi juga semakin “mengotori” imej ibukota yang sudah krodit dengan
pencitraan banjir kelas internasional, dengan peringkat 10 Negara yang tingkat
korupsinya terhebat di dunia, belum lagi Dewan Perwakilan Rakyatnya yang punya
tingkah “nyeleneh” seolah masalah
hanya bisa di bahas pada sidang paripurna dan berpikir tentang APBN sambil
memejamkan mata seraya berkata “YA” pada setiap hasil akhir sidang [#capekDeh].
Di tambah lagi ada pengalaman buruk yang membuatku enggan memberikan kesempatan
sang actor jalanan untuk mencuri hatiku dengan mengiba agar diberikan sejumlah
uang meskipun yang di terima adalah kumpulan receh yang kesannya remeh temeh.
.
Ah…. Ada-ada saja bentuk
kreatifitas mereka dengan segala daya upaya untuk mengais rezeki di ibukota
sementara ide-idenya dalam rangka mengelabui calon korban nyaris tidak pernah
terpikir oleh kita yang sudah sibuk dengan banyak aktifitas yang terlalu
penting.
***
Oktober 1999
Suasana terminal pulogadung
begitu ramai. Asap kendaraan umum yang mengepul ke udara membuat keadaan
semakin krodit. Setelah penantian panjang, sampailah Kowanbisata jurusan
Pulogadung – Cileungsi di hadapanku. Kemudian ku naiki bis yang kala itu baru
saja masuk terminal menurunkan sisa penumpang untuk mencari penumpang baru, sambil
kepanasan akupun menunggu kalau-kalau saja ada pedagang asongan yang membawa
minuman dingin menjajakan dagangannya di atas bis. Terbayang sudah fantasi
sejuknya air mineral atau teh Bot*l dingin yang mengalir lewati tenggorokan
buat melepas dahaga. Bayangan itu makin menari – nari di otak kananku. Tak
terasa berkali-kali sudah aku menahan ludah dan menunggu do’a yang tak kunjung
terkabul, hingga akhirnya aku rela untuk mengantuk di atas bis yang tak
bergerak sebelum kursi penumpang terisi penuh.
Perjalanan kali ini sebenarnya
aku hanya menemani Pa’i, sahabat kentalku semasa jaya putih abu. Ia baru saja
mengantarkan barang dagangannya di daerah Pluit. Kala itu ia sudah menjadi
seorang mahasiswa kedokteran yang nyambi menjadi pedagang handphone dengan
system delivery order. Sementara status
sosialku masih saja menjadi seorang pengangguran tanpa acara. Kebayang deh
susahnya mencari kegiatan sampai – sampai aku ikhlas mengantarnya melakukan
pekerjaan sambilan untuk sekedar membunuh waktu agar tak jenuh setiap hari
berada di rumah.
Dan kini giliran aku beristirahat
di atas Kowanbisata yang pengap sementara bis mulai berjalan mencari penumpang
di tengah terik matahari yang panasnya serasa melelehkan kulit.
Di lampu merah perempatan
Boulevard kelapa gading bis kena giliran berhenti. Dan terciptalah adegan
berikut:
[maaf jika ada yang tersinggung,
adegan ini tidak untuk mendiskriminasikan profesi sejenis, sekali lagi maaf]
Seorang pengemis masuk terseok –
seok… pria usia antara 35-38 tahun dengan tubuh kurus berisi, raut wajah yang
pucat dan suara mengiba berjalan dengan tangannya sementara kedua kakinya di
seret bak suster ngesot di film-film. Di tangannya terselip kayu yang sudah di
modifikasi dengan karet ban supaya dapat menjadi sandal / alas berjalannya.
Seperti pengemis pada umumnya, pakaian compang – camping jadi andalan properti. Setiap kursi penumpang tak luput dari sambangannya
sambil menadahkan tangan, berharap ada penumpang yang tergerak hatinya untuk
memberikan sedikit rezeki sekedar buat makan siang, kilahnya dalam petikan kata
– kata yang terucap di sela gerakannya yang pelan tapi pasti mulai mengarah
kepada kursi yang aku duduki. Semakin mendekatiku tapi ku perhatikan sejak awal
masuk hanya beberapa yang memberikan uang logam kepadanya.
Posisi dudukku ada di depan pintu
keluar paling belakang. Jadi kalo dari depan setelah melewati kursi baru keluar
menuruni tangga.
Gepeng
|
:
|
[salam] “..Mas kasiaaan mas, belum makan dari pagi mas..”
|
Yudha
|
:
|
[melambaikan tangan sambil
tersenyum]
|
Gepeng
|
:
|
[mengulangi perkataan yang sama
setengah memaksa] “mas kasiaaan maas,
belum makan dari pagi maas..”
|
Yudha
|
:
|
[kembali melambaikan tangan
sambil tersenyum] “Maaf ya Pak..”
|
Gepeng
|
:
|
[dengan gerakan tangan ke arah
mulut]“ayolah mas…. Tolong saya, buat
makan aja maaas”
|
Yudha
|
:
|
Iya, Pak maaf, saya juga belum….
|
Gepeng
|
:
|
[sambil merogoh tas kain yang
dibawanya di keluarkan sejumlah uang hasil ngemis] “Ooo… JADI MAS BELUM MAKAN JUGA? NIIIH MAS … SAYA KASIH, AMBIL
MAS…AMBIL!!!”[marah – marah ngga jelas]
|
Kemudian pengemis itu keluar dari
bis dengan gegap gempita mengeluarkan rasa kesalnya hingga lupa kalau dia
sedang berperan sebagai orang yang berjalan ngesot, pake nunjuk-nunjuk ke bis
juga [#tepokJidat]. Di tambah melangkah
dengan tangan hampa karena mungkin menurut anggapannya satu bis tidak mengerti
keadaannya. Dan beberapa receh hasil memintanya kepada penumpang di dalam bis
tadi ia buang begitu saja tanpa memikirkan hati orang yang masih melongo melihat sikapnya yang ajaib.
Entah apalah maksudnya…. Tapi itulah yang menjadikan aku trauma lebih
selektif dalam memberikan belas kasih kepada para actor jalanan seperti bapak
tadi. [Bersambung…]
***
No comments:
Post a Comment
" Berikan Komentar Anda Untuk Postingan Ini "