HALAMAN

18 August, 2009

KISAH NYATA

"Cerita ini sangat menarik, sampai saya berkeinginan untuk menyimpannya dalam catatan harian sebagai pengingat diri sendiri..."



...Berawal dari salah pengertian yg mengakibatkan kehancuran sebuah rumah tangga.

Tatkala nilai akhir sebuah kehidupan sudah terbuka, tetapi segalanya
sudah terlambat.

Membawa nenek utk tinggal bersama menghabiskan masa tuanya bersama
kami, malah telah menghianati ikrar cinta yg telah kami buat selama
ini, setelah 2 tahun menikah, saya dan suami setuju menjemput nenek di
kampung utk tinggal bersama .

Sejak kecil suami saya telah kehilangan ayahnya, dia adalah
satu-satunya harapan nenek, nenek pula yg membesarkannya dan
menyekolahkan dia hingga tamat kuliah.

Saya terus mengangguk tanda setuju, kami segera menyiapkan sebuah
kamar yg menghadap taman untuk nenek, agar dia dapat berjemur, menanam
bunga dan sebagainya.Suami berdiri didepan kamar yg sangat kaya dgn
sinar matahari, tidak sepatah katapun yg terucap tiba-tiba saja dia
mengangkat saya dan memutar-mutar saya seperti adegan dalam film India
dan berkata: “Mari,kita jemput nenek di kampung”.

Suami berbadan tinggi besar, aku suka sekali menyandarkan kepalaku ke
dadanya yg bidang, ada suatu perasaan nyaman dan aman disana.

Aku seperti sebuah boneka kecil yg kapan saja bisa diangkat dan
dimasukan ke dalam kantongnya.

Kalau terjadi selisih paham di antara kami, dia suka tiba-tiba
mengangkatku tinggi-tinggi di atas kepalanya dan diputar-putar sampai
aku berteriak ketakutan baru diturunkan. Aku sungguh menikmati
saat-saat seperti itu.

Kebiasaan nenek di kampung tidak berubah.

Aku suka sekali menghias rumah dengan bunga segar, sampai akhirnya
nenek tidak tahan lagi dan berkata kepada suami: “Istri kamu hidup
foya-foya, buat apa beli bunga? Kan bunga tidak bisa dimakan? “Aku
menjelaskannya kepada nenek: “Ibu, rumah dengan bunga segar membuat
rumah terasa lebih nyaman dan suasana hati lebih gembira. “Nenek
berlalu sambil mendumel, suamiku berkata sambil tertawa: “Ibu, ini
kebiasaan orang kota , lambat laun ibu akan terbiasa juga.”

Nenek tidak protes lagi, tetapi setiap kali melihatku pulang sambil
membawa bunga, dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya berapa harga
bunga itu, setiap mendengar jawabanku dia selalu mencibir sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Setiap membawa pulang barang belanjaan,
dia selalu tanya itu berapa harganya, ini berapa. Setiap aku jawab,
dia selalu berdecak dengan suara keras. Suamiku memencet hidungku
sambil berkata: “Putriku, kan kamu bisa berbohong. Jangan katakan
harga yang sebenarnya.” Lambat laun, keharmonisan dalam rumah tanggaku
mulai terusik.

Nenek sangat tidak bisa menerima melihat suamiku bangun pagi
menyiapkan sarapan pagi untuk dia sendiri,di mata nenek seorang anak
laki-laki masuk ke dapur adalah hal yang sangat memalukan. Di meja
makan, wajah nenek selalu cemberut dan aku sengaja seperti tidak
mengetahuinya. Nenek selalu membuat bunyi-bunyian dengan alat makan
seperti sumpit dan sendok, itulah cara dia protes.

Aku adalah instrukstur tari, seharian terus menari membuat badanku
sangat letih, aku tidak ingin membuang waktu istirahatku dengan bangun
pagi apalagi di saat musim dingin. Nenek kadang juga suka membantuku
di dapur,tetapi makin dibantu aku menjadi semakin repot, misalnya: dia
suka menyimpan semua kantong-kantong bekas belanjaan, dikumpulkan bisa
untuk dijual katanya. Jadilah rumahku seperti tempat pemulungan
kantong plastik, di mana-mana terlihat kantong plastik besar tempat
semua kumpulan kantong plastik.

Kebiasaan nenek mencuci piring bekas makan tidak menggunakan cairan
pencuci, agar supaya dia tidak tersinggung, aku selalu mencucinya
sekali lagi pada saat dia sudah tidur. Suatu hari, nenek mendapati aku
sedang mencuci piring malam harinya, dia segera masuk ke kamar sambil
membanting pintu dan menangis. Suamiku jadi serba salah, malam itu
kami tidur seperti orang bisu, aku coba bermanja-manja dengan dia,
tetapi dia tidak perduli. Aku menjadi kecewa dan marah. “Apa salahku?”
Dia melotot sambil berkata: “Kenapa tidak kamu biarkan saja? Apakah
memakan dengan pring itu bisa membuatmu mati?”

Aku dan nenek tidak bertegur sapa untuk waktu yg culup lama, suasana
mejadi kaku. Suamiku menjadi sangat kikuk, tidak tahu harus berpihak
pada siapa? Nenek tidak lagi membiarkan suamiku masuk ke dapur, setiap
pagi dia selalu bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuknya,
suatu kebahagiaan terpancar di wajahnya jika melihat suamiku makan
dengan lahap, dengan sinar mata yang seakan mencemohku sewaktu melihat
padaku, seakan berkata di mana tanggung jawabmu sebagai seorang istri?

Demi menjaga suasana pagi hari tidak terganggu, aku selalu membeli
makanan di luar pada saat berangkat kerja. Saat tidur, suami berkata:
“Lu di, apakah kamu merasa masakan ibu tidak enak dan tidak bersih
sehingga kamu tidak pernah makan di rumah?” sambil memunggungiku dia
berkata tanpa menghiraukan air mata yg mengalir di kedua belah pipiku.
Dan dia akhirnya berkata: “Anggaplah ini sebuah permintaanku, makanlah
bersama kami setiap pagi.” Aku mengiyakannya dan kembali ke meja makan
yg serba canggung itu.

Pagi itu nenek memasak bubur, kami sedang makan dan tiba-tiba ada
suatu perasaan yg sangat mual menimpaku, seakan-akan isi perut mau
keluar semua. Aku menahannya sambil berlari ke kamar mandi, sampai
disana aku segera mengeluarkan semua isi perut. Setelah agak reda, aku
melihat suamiku berdiri di depan pintu kamar mandi dan memandangku
dengan sinar mata yg tajam, di luar sana terdengar suara tangisan
nenek dan berkata-kata dengan bahasa daerahnya. Aku terdiam dan
terbengong tanpa bisa berkata-kata. Sungguh bukan sengaja aku berbuat
demikian!.

Pertama kali dalam perkawinanku, aku bertengkar hebat dengan suamiku,
nenek melihat kami dengan mata merah dan berjalan menjauh..suamiku
segera mengejarnya keluar rumah.

Menyambut anggota baru tetapi dibayar dengan nyawa nenek.

Selama 3 hari suamiku tidak pulang ke rumah dan tidak juga
meneleponku. Aku sangat kecewa, semenjak kedatangan nenek di rumah
ini, aku sudah banyak mengalah, mau bagaimana lagi? Entah kenapa aku
selalu merasa mual dan kehilangan nafsu makan ditambah lagi dengan
keadaan rumahku yang kacau, sungguh sangat menyebalkan. Akhirnya teman
sekerjaku berkata: “Lu Di, sebaiknya kamu periksa ke dokter.” Hasil
pemeriksaan menyatakan aku sedang hamil. Aku baru sadar mengapa aku
mual-mual pagi itu. Sebuah berita gembira yg terselip juga kesedihan.
Mengapa suami dan nenek sebagai orang yg berpengalaman tidak berpikir
sampai sejauh itu?

Di pintu masuk rumah sakit aku melihat suamiku, 3 hari tidak bertemu
dia berubah drastis, muka kusut kurang tidur, aku ingin segera berlalu
tetapi rasa iba membuatku tertegun dan memanggilnya. Dia melihat ke
arahku tetapi seakan akan tidak mengenaliku lagi, pandangan matanya
penuh dengan kebencian dan itu melukaiku. Aku berkata pada diriku
sendiri, jangan lagi melihatnya dan segera memanggil taksi. Padahal
aku ingin memberitahunya bahwa kami akan segera memiliki seorang anak.
Dan berharap aku akan diangkatnya tinggi-tinggi dan diputar-putar
sampai aku minta ampun tetapi….. mimpiku tidak menjadi kenyataan. Di
dalam taksi air mataku mengalir dengan deras. Mengapa kesalah pahaman
ini berakibat sangat buruk?

Sampai di rumah aku berbaring di ranjang memikirkan peristiwa
tadi,memikirkan sinar matanya yg penuh dengan kebencian, aku menangis
dengan sedihnya. Tengah malam, aku mendengar suara orang membuka laci,
aku menyalakan lampu dan melihat dia dgn wajah berlinang air mata
sedang mengambil uang dan buku tabungannya. Aku nenatapnya dengan
dingin tanpa berkata-kata. Dia seperti tidak melihatku saja dan segera
berlalu.

Sepertinya dia sudah memutuskan utk meninggalkan aku. Sungguh lelaki
yg sangat picik, dalam saat begini dia masih bisa membedakan antara
cinta dengan uang. Aku tersenyum sambil menitikan air mata.
Aku tidak masuk kerja keesokan harinya, aku ingin secepatnya
membereskan masalah ini, aku akan membicarakan semua masalah ini dan
pergi mencarinya di kantornya. Di kantornya aku bertemu dengan
seketarisnya yg melihatku dengan wajah bingung. “Ibunya pak direktur
baru saja mengalami kecelakaan lalu lintas dan sedang berada di rumah
sakit. Mulutku terbuka lebar. Aku segera menuju rumah sakit dan saat
menemukannya, nenek sudah meninggal. Suamiku tidak pernah menatapku,
wajahnya kaku. Aku memandang jasad nenek yg terbujur kaku. Sambil
menangis aku menjerit dalam hati: “Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?”

Sampai selesai upacara pemakaman,suamiku tidak pernah bertegur sapa
denganku, jika memandangku selalu dengan pandangan penuh dengan
kebencian. Peristiwa kecelakaan itu aku juga tahu dari orang lain,
pagi itu nenek berjalan ke arah terminal, rupanya dia mau kembali ke
kampung. Suamiku mengejar sambil berlari, nenek juga berlari makin
cepat sampai tidak melihat sebuah bus yg datang ke arahnya dengan
kencang. Aku baru mengerti mengapa pandangan suamiku penuh dengan
kebencian. Jika aku tidak muntah pagi itu, jika kami tidak bertengkar,
jika………… di matanya, akulah penyebab kematian nenek.

Suamiku pindah ke kamar nenek, setiap malam pulang kerja dengan badan
penuh dengan bau asap rokok dan alkohol. Aku merasa bersalah tetapi
juga merasa harga diriku terinjak-injak. Aku ingin menjelaskan bahwa
semua ini bukan salahku dan juga memberitahunya bahwa kami akan segera
mempunyai anak. Tetapi melihat sinar matanya, aku tidak pernah
menjelaskan masalah ini. Aku rela dipukul atau dimaki-maki olehnya
walaupun ini bukan salahku. Waktu berlalu dengan sangat lambat. Kami
hidup serumah tetapi seperti tidak mengenal satu sama lain. Dia pulang
makin larut malam. Suasana tegang didalam rumah.

Suatu hari, aku berjalan melewati sebuah café, melalui keremangan
lampu dan kisi-kisi jendela, aku melihat suamiku dengan seorang wanita
di dalam. Dia sedang menyibak rambut sang gadis dengan mesra. Aku
tertegun dan mengerti apa yg telah terjadi.Aku masuk kedalam dan
berdiri di depan mereka sambil menatap tajam kearahnya. Aku tidak
menangis juga tidak berkata apapun karena aku juga tidak tahu harus
berkata apa. Sang gadis melihatku dan ke arah suamiku dan segera
hendak berlalu. Tetapi dicegah oleh suamiku dan menatap kembali ke
arahku dengan sinar mata yg tidak kalah tajam dariku. Suara detak
jangtungku terasa sangat keras, setiap detak suara seperti suara
menuju kematian. Akhirnya aku mengalah dan berlalu dari hadapan
mereka, jika tidak.. mungkin aku akan jatuh bersama bayiku di hadapan
mereka.

Malam itu dia tidak pulang ke rumah. Seakan menjelaskan padaku apa
yang telah terjadi. Sepeninggal nenek, rajutan cinta kasih kami juga
sepertinya telah berakhir. Dia tidak kembali lagi ke rumah, kadang
sewaktu pulang ke rumah, aku mendapati lemari seperti bekas dibongkar.
Aku tahu dia kembali mengambil barang-barang keperluannya. Aku tidak
ingin menelepon dia walaupun kadang terbersit suatu keinginan untuk
menjelaskan semua ini. Tetapi itu tidak terjadi………, semua berlalu
begitu saja.

Aku mulai hidup seorang diri,pergi check kandungan seorang diri.
Setiap kali melihat sepasang suami istri sedang check kandungan
bersama, hati ini serasa hancur. Teman-teman menyarankan agar aku
membuang saja bayi ini, tetapi aku seperti orang yg sedang histeris
mempertahankan miliknya. Hitung-hitung sebagai pembuktian kepada nenek
bahwa aku tidak bersalah.

“Suatu hari pulang kerja, aku melihat dia duduk didepan ruang tamu.
Ruangan penuh dengan asap rokok dan ada selembar kertas di atas
meja,tidak perlu tanya aku juga tahu surat apa itu. 2 bulan hidup
sendiri, aku sudah bisa mengontrol emosi. Sambil membuka mantel dan
topi aku berkata kepadanya: “Tunggu sebentar, aku akan segera menanda
tanganinya”. Dia melihatku dengan pandangan awut-awutan demikian juga
aku. Aku berkata pada diri sendiri, jangan menangis, jangan menangis.
Mata ini terasa sakit sekali tetapi aku terus bertahan agar air mata
ini tidak keluar. Selesai membuka mantel, aku berjalan ke arahnya dan
ternyata dia memperhatikan perutku yg agak membuncit. Sambil duduk di
kursi, aku menandatangani surat itu dan menyodorkan kepadanya. “Lu
di,kamu hamil?” Semenjak nenek meninggal, itulah pertama kali dia
berbicara kepadaku. Aku tidak bisa lagi membendung air mataku yg
menglir keluar dengan derasnya. Aku menjawab:”Iya, tetapi tidak
apa-apa. Kamu sudah boleh pergi”. Dia tidak pergi, dalam keremangan
ruangan kami saling berpandangan.

Perlahan-lahan dia membungkukan badannya ke tanganku, air matanya
terasa menembus lengan bajuku. Tetapi di lubuk hatiku, semua sudah
berlalu, banyak hal yg sudah pergi dan tidak bisa diambil kembali.”

Entah sudah berapa kali aku mendengar dia mengucapkan kata: “Maafkan
aku, maafkan aku”. Aku pernah berpikir untuk memaafkannya tetapi tidak
bisa. Tatapan matanya di cafe itu tidak akan pernah aku lupakan. Cinta
di antara kami telah ada sebuah luka yg menganga. Semua ini adalah
sebuah akibat kesengajaan darinya.

Berharap dinding es itu akan mencair, tetapi yang telah berlalu tidak
akan pernah kembali. Hanya sewaktu memikirkan bayiku, aku bisa
bertahan untuk terus hidup. Terhadapnya, hatiku dingin bagaikan es,
tidak pernah menyentuh semua makanan pembelian dia, tidak menerima
semua hadiah pemberiannya tidak juga berbicara lagi dengannya. Sejak
menanda tangani surat itu, semua cintaku padanya sudah berlalu,
harapanku telah lenyap tidak berbekas.

Kadang dia mencoba masuk ke kamar untuk tidur bersamaku, aku segera
berlalu ke ruang tamu, dia terpaksa kembali ke kamar nenek. Malam
hari, terdengar suara orang mengerang dari kamar nenek tetapi aku
tidak perduli. Itu adalah permainan dia dari dulu. Jika aku tidak
perduli padanya, dia akan berpura-pura sakit sampai aku menghampirinya
dan bertanya apa yang sakit. Dia lalu akan memelukku sambil tertawa
terbahak-bahak. Dia lupa…….., itu adalah dulu, saat cintaku masih
membara, sekarang apa lagi yg aku miliki?

Begitu seterusnya, setiap malam aku mendengar suara orang mengerang
sampai anakku lahir. Hampir setiap hari dia selalu membeli
barang-barang perlengkapan bayi, perlengkapan anak-anak dan buku-buku
bacaan untuk anak-anak. Setumpuk demi setumpuk sampai kamarnya penuh
sesak dengan barang-barang. Aku tahu dia mencoba menarik simpatiku
tetapi aku tidak bergeming. Terpaksa dia mengurung diri dalam kamar,
malam hari dari kamarnya selalu terdengar suara pencetan keyboard
komputer. Mungkin dia lagi tergila-gila chatting dan berpacaran di
dunia maya pikirku. Bagiku itu bukan lagi suatu masalah.

Suatu malam di musim semi, perutku tiba-tiba terasa sangat sakit dan
aku berteriak dengan suara yg keras. Dia segera berlari masuk ke
kamar, sepertinya dia tidak pernah tidur. Saat inilah yg
ditunggu-tunggu olehnya. Aku digendongnya dan berlari mencari taksi ke
rumah sakit. Sepanjang jalan, dia mengenggam dengan erat tanganku,
menghapus keringat dingin yg mengalir di dahiku. Sampai di rumah
sakit, aku segera digendongnya menuju ruang bersalin. Di punggungnya
yg kurus kering, aku terbaring dengan hangat dalam dekapannya.
Sepanjang hidupku, siapa lagi yg mencintaiku sedemikian rupa jika
bukan dia?

Sampai di pintu ruang bersalin, dia memandangku dengan tatapan penuh
kasih sayang saat aku didorong menuju persalinan, sambil menahan sakit
aku masih sempat tersenyum padanya. Keluar dari ruang bersalin, dia
memandang aku dan anakku dengan wajah penuh dengan air mata sambil
tersenyum bahagia. Aku memegang tanganya, dia membalas memandangku
dengan bahagia, tersenyum dan menangis lalu terjerambab ke lantai. Aku
berteriak histeris memanggil namanya.

Setelah sadar, dia tersenyum tetapi tidak bisa membuka matanya…aku
pernah berpikir tidak akan lagi meneteskan sebutir air matapun
untuknya, tetapi kenyataannya tidak demikian, aku tidak pernah
merasakan sesakit saat ini. Kata dokter, kanker hatinya sudah sampai
pada stadium mematikan, bisa bertahan sampai hari ini sudah merupakan
sebuah mukjijat. Aku tanya kapankah kanker itu terdeteksi? 5 bulan yg
lalu kata dokter, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan terburuk. Aku
tidak lagi perduli dengan nasehat perawat, aku segera pulang ke rumah
dan ke kamar nenek lalu menyalakan komputer.

Ternyata selama ini suara orang mengerang adalah benar apa adanya, aku
masih berpikir dia sedang bersandiwara….Sebuah surat yg sangat panjang
ada di dalam komputer yg ditujukan kepada anak kami. “Anakku, demi
dirimu aku terus bertahan, sampai aku bisa melihatmu. Itu adalah
harapanku. Aku tahu dalam hidup ini, kita akan menghadapi semua bentuk
kebahagiaan dan kekecewaan, sungguh bahagia jika aku bisa melaluinya
bersamamu tetapi ayah tidak mempunyai kesempatan untuk itu. Di dalam
komputer ini, ayah mencoba memberikan saran dan nasehat terhadap
segala kemungkinan hidup yg akan kamu hadapi. Kamu boleh
mempertimbangkan saran ayah.

“Anakku, selesai menulis surat ini, ayah merasa telah menemanimu hidup
selama bertahun-tahun. Ayah sungguh bahagia. Cintailah ibumu, dia
sungguh menderita, dia adalah orang yg paling mencintaimu dan adalah
orang yg paling ayah cintai”.

Mulai dari kejadian yg mungkin akan terjadi sejak TK , SD ,SMP,SMA
sampai kuliah, semua tertulis dengan lengkap di dalamnya. Dia juga
menulis sebuah surat untukku. “Kasihku, dapat menikahimu adalah hal yg
paling bahagia aku rasakan dalam hidup ini. Maafkan salahku, maafkan
aku tidak pernah memberitahumu tentang penyakitku. Aku tidak mau
kesehatan bayi kita terganggu oleh karenanya. Kasihku, jika engkau
menangis sewaktu membaca surat ini, berarti kau telah memaafkan aku.
Terima kasih atas cintamu padaku selama ini. Hadiah-hadiah ini aku
tidak punya kesempatan untuk memberikannya pada anak kita. Pada
bungkusan hadiah tertulis semua tahun pemberian padanya”".”

Kembali ke rumah sakit, suamiku masih terbaring lemah. Aku menggendong
anak kami dan membaringkannya di atas dadanya sambil berkata: “Sayang,
bukalah matamu sebentar saja, lihatlah anak kita. Aku mau dia
merasakan kasih sayang dan hangatnya pelukan ayahnya”. Dengan susah
payah dia membuka matanya, tersenyum…………..anak itu tetap dalam
dekapannya, dengan tanganya yg mungil memegangi tangan ayahnya yg
kurus dan lemah. Tidak tahu aku sudah menjepret berapa kali momen itu
dengan kamera di tangan sambil berurai air mata………………..

Teman2 terkasih, aku sharing cerita ini kepada kalian, agar kita semua
bisa menyimak pesan dari cerita ini.Mungkin saat ini air mata kalian
sedang jatuh mengalir atau mata masih sembab sehabis menangis,
ingatlah pesan dari cerita ini: “Jika ada sesuatu yg mengganjal di
hati di antara kalian yg saling mengasihi, sebaiknya utarakanlah
jangan simpan di dalam hati. Siapa tau apa yg akan terjadi besok?

Ada sebuah kesimpulan:

Jika kita tahu besok adalah hari kiamat, apakah kita akan menyesali
semua hal yg telah kita perbuat? atau apa yg telah kita ucapkan?
Sebelum segalanya menjadi terlambat, pikirlah matang2 semua yg akan
kita lakukan sebelum kita menyesalinya seumur hidup.

No comments:

Post a Comment

" Berikan Komentar Anda Untuk Postingan Ini "