Postingan ini bukan bermaksud untuk membandingkan keadaan mengungkit niat baik atau mengemis belas kasih. Jauh dari pada kesan tersebut sebagai pemilik blog hanya ingin mengembangkan informasi bahwa masih di sekitar Jakarta ada satu tempat yang membutuhkan uluran tangan para dermawan berjiwa sosial tinggi dan merasa dirinya terpanggil dalam membantu meneruskan cita-cita mereka para penjemput impian…sekalipun tidak berdiri di lampu merah, mereka tetap tidak pernah mengeluh dengan keadaan, karena mereka tahu bahwa hidup harus terus berjalan...bertahan....dan berTUHAN ......
[@yudha_rui]
***
Depok, Mei 2013
Suara riuh rendah puluhan anak
anak bergema dalam mushola kecil di Jl. Kesadaran Cikumpa Rt.03/Rw.09 (Studio
Alam TVRI) Kelurahan Sukmajaya, Depok. Letaknya memang jauh dari jalan raya,
sekilas tak nampak adanya kegiatan jika kita melintas di depan bangunan yang
menjorok kedalam tersebut, karena memang tempat ini begitu sepi jika terlihat
dari luar. Bukan karena ingin menutup diri, tapi karena letak bangunan yang
memang berada di ujung jalan membuat seolah orang yang baru pertama kali melintas
akan beranggapan seperti itu. Hanya terlihat pagar setengah terbuka dan puluhan
sandal milik ‘para penjemput impian’ (baca: santri Yatim-Dhuafa) yang tengah
asyik parkir sejak pukul 4 pagi tadi.
Sebagian anak membaca huruf arab
bersambung dikemas dalam sampul berjudul IQRO, masih mengeja dan terbata-bata…
sementara sebagian lainnya mulai menghafal surat pendek untuk di “setor”kan
kepada guru pembimbing. Suatu fenomena yang sudah mulai langka di kehidupan
pinggiran kota depok, dimana anak – anak sekecil itu sangat antusias dalam
mencari ilmu agama sementara waktu yang harus nya masih mereka pergunakan untuk
beristirahat rela di korbankan untuk mencari ilmu. Dengan gigih mereka hadir ke
majelis dalam rangka mendekatkan diri kepadaNYA. Ah…sesuatu yang begitu
tenteram dan nikmat ketika aku merasakan berada diantara mereka.
Anak – anak binaan Yayasan CendikiaAttaufiqurrohman berasal dari warga penduduk sekitar, dimana sekelilingnya di
‘kepung’ dengan kompleks perumahan real estate. Ironinya sebagian penduduk
perkampungan disekitar mayoritas mengais rejeki bekerja sebagai buruh cuci,
tukang ojek dan pemulung barang bekas dengan pendapatan dibawah rata - rata.
Sehingga hal ini melatar belakangi di dirikannya YayasanCendikia At Taufiqurrohman. Yayasan membebaskan bayaran dan memberikan
konsumsi kepada anak-anak yang datang mengaji kepada anak – anak dari warga
yang memiliki kategori yatim dan dhuafa.
Aku sendiri sebenarnya telah lama di undang oleh
Edi untuk hadir ke yayasan Cendikia At Taufiqurrohman. Edi adalah ketua kelasku
di kampus UMB zaman kuliah dulu. Hingga postingan ini terbit, di tempat ini terdapat 86 anak yatim dan dhuafa
di kumpulkan menjadi satu dan di bimbing untuk menjadi tahfidz qur’an. Yayasan Cendikia AtTaufiqurrohman baru 8 bulan berjalan dengan kondisi keuangan yang
kurang lebih ‘pincang’. Pada saat pertama kali di pertemukan antara aku dengan
Edi, keuangan masih dalam saldo minus, alias berhutang karena dana tersebut
dipergunakan untuk membeli bahan bangunan dalam rangka mendirikan sebuah aula
serba guna yang nantinya akan di jadikan ruang belajar computer gratis untuk
anak – anak binaan. Dengan niat dan keinginan untuk membesarkan yayasan ini
menjadi wahana belajar bagi anak – anak agar dapat mengenal dan memahami Sang
Maha Pencipta maka yayasan berjalan dengan modal “BISMILLAH”….
***
Adalah Bapak Suko Basuki, ketua
harian dari yayasan “CENDIKIA AT TAUFIQURRAHMAN” dan seorang pensiunan pengawas
sekolah dasar di pinggiran Jakarta. Setelah berakhir masa baktinya dalam
menjalankan tugas Negara, ia merasa kesepian karena kegiatan yang semula padat
drastis menjadi senggang.
Suatu hari secara kebetulan
berkumpulah warga sekitar untuk membicarakan banyaknya anak-anak yatim piatu
dan dhuafa di sekitar tempat tinggalnya yang perlu binaan, sementara mereka
sangat membutuhkan bimbingan moral dan material. Untuk menolong mereka maka
kita butuh begitu banyak uluran tangan dan subsidi silang dari para dermawan.
Inilah dasar dan latar belakang
yang menyebabkan yayasan Cendikia At-Taufiqurrohman berdiri hingga saat ini.
Sekalipun terseok – seok menjalani dan mengelolanya karena sering terjadi
kejar-kejaran antara kebutuhan operasional seperti membayar gaji
ustadz/ustadzah pembimbing, maupun konsumsi santri saat belajar. Maklum saja
semua biaya belajar bagi para santri yang di GRATIS-kan sementara penggalangan
dana yang swadaya serta independen karena jumlah donator yang minim, namun pengurus dengan ikhlas menjalani dan
menaruh harapan besar agar kelak anak-anak yang di bimbing menjadi “seseorang”
yang berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan orang – orang di sekitarnya.
***
Mendengar cerita sebagian anak –
anak yang giat belajar dengan keterbatasan fasilitas membuat hati tergerak
untuk menjadi “kurir sedekah” bagi anak – anak “penjemput impian”. Awalnya tak terbayangkan bagaimana lika- liku
dalam mencari dan mengais rezeki yang di kirim untuk segera di sampaikan kepada
mereka “para penjemput impian”. Tapi setidaknya dari kondisi yang ku ceritakan,
ada beberapa teman yang tergerak menjadi donator rutin bagi yayasan. Ah…
lumayan, setidaknya yayasan punya pemasukan yang bisa di putar untuk biaya
operasional dan anak - anak masih bisa
belajar disana.
Pernah satu hari terjadi
percakapan antara aku dan Pak Suko yang menceritakan tentang keadaan anak –
anak yayasan Cendikia at Taufiqurrahman…
Yudha
|
:
|
“Bagaimana keadaan santri di sini pak? berapa
orang sudah yang di kelola sama yayasan?”
|
Pak Suko
|
:
|
“Disini santrinya kebanyakan anak – anak yatim
& dhuafa mas. Karena daerah sini banyak dari orang yang ngga mampu. Sampe
sekarang jumlah santri yang aktif ada 58 orang dari 86 orang.”
|
Yudha
|
:
|
“Minat belajar anak-anak nya gimana Pak?”
|
Pak Suko
|
:
|
“Mereka rata-rata yang datang memang punya
minat tinggi untuk belajar mengaji di sini. Bahkan juga cepat menyerap ilmu…
tapi ya itu mas, karena kita juga memanfaatkan hari libur sekolah formal,
mulai dari pagi sebelum subuh sudah mulai di gunakan buat Tahajjud setelah
itu tahsin dan tahfidz, “setoran” ayat. belajarnya sering juga ngga datang
bukan karena kepagian… tapi karena kebutuhan”
J
|
Yudha
|
:
|
“Loh, kebutuhan?… memang ada kendala apa pak?”
|
Pak Suko
|
:
|
“Yaaa… karena mereka juga di minta bantuan
sama orang tuanya untuk jualan kalo hari minggu kan ada pasar kaget dekat
sini, jadi ada anak yang mengalah untuk tidak masuk belajar mengaji ketimbang
harus di marahin orang tuanya. Memang miris dengarnya, tapi sedikit-sedikit
akan kita berikan masukan. Karena sayang mas, mereka anak-anak pintar yang
kelak akan jadi generasi penerus orang tuanya. Jadi harus lebih baik dari
keadaan yang sekarang “
[terlihat mata berkaca menatap harapan anak
didiknya di masa depan]
|
Yudha
|
:
|
“Saya lihat mereka di pakein seragam, jadi
bagus ya pak” :D
|
Pak Suko
|
:
|
“Hehe… Iya Mas, Alhamdulillah itu juga dapat
korting dari penjual bahan waktu dia nanya bahan ini mau di pake buat apa?
Trus kita bilang bahan ini mau di pake untuk santri yatim & dhuafa”.
|
Yudha
|
:
|
“Waaah…Subhanallah.. koq bisa kepikiran pake
seragam pak? Apa biar keliatan kayak di sekolah formal?”
|
Pak Suko
|
:
|
“Hahaha.. ngga mas yud, ini karena awalnya
kita perhatikan pakaian mereka itu - ituuuu aja setiap kali datang belajar,
kayak ngga ganti-ganti. Bahkan bukan Cuma keliatan ngga ganti, tapi juga ada
yang sobek. Mungkin karena baju yang di punya juga terbatas, Kesian ngeliat
mereka akhirnya kami berpikir sebaiknya di kasih seragam saja supaya mereka
juga punya identitas”
|
Yudha
|
:
|
“Oiya Pak, tadi kan bicara belajar mulai dari
sebelum subuh, apa mereka bawa makanan dari rumah atau di sediakan di sini
pak?”
|
Pak Suko
|
:
|
“Di sini di sediakan makan Cuma jum’at malam
dan Minggu pagi mas. Jadi setelah selesai belajar dan Shalat Dhuha. Makanan
yang sudah di bungkus kita bagi-bagikan buat di bawa pulang”.
|
Yudha
|
:
|
“Kenapa ngga makan di sini rame – rame Pak?
Kan biar seru…” J
|
Pak Suko
|
:
|
“Sebelumnya memang kami sudah seperti itu mas
yud, tapi ada yang mengusulkan kalo makanan di bawa pulang saja, karena
mereka sudah ditunggu oleh adik-adik dan keluarganya untuk makan bersama…
makanannya itulah yang dibawa sama si santri…”
|
penjelasan terakhir dari pak Suko
membuatku tidak bisa berkata – kata lagi. Miris sekali mendengar sebuah yayasan
dengan anak didik 86 orang di kelilingi oleh lokasi perumahan kelas menengah ke
atas namun minim donator ini masih eksis untuk melakukan tindakan kemanusiaan.
Ah…Sungguh berbanding terbalik
dengan drama penangkapan pengemis yang di razia membawa penghasilan 25 juta
rupiah dari hasil kerjanya selama 2 minggu. Pantas saja semakin banyak
pendatang baru di ibukota yang berperan sebagai actor jalanan [baca=pengemis].
Ini karena kita dibuai oleh hebatnya “performance” sang actor dengan mengiba
dan mengharap pemberian.
Sementara di lain sisi, masih di
seputaran Jakarta, ada banyak yayasan seperti yang di kelola oleh Pak Suko,
membutuhkan…mengharap…menunggu uluran tangan, berapapun jumlahnya…apapun
bentuknya, yang mungkin nilai pahalanya hanya Allah saja yang bisa memberi dan
paling berhak menentukan. Tapi setidaknya apa yang kita berikan akan jauh lebih
bermanfaat untuk generasi masa depan.
Sahabat….inilah cerita tentang
aku, kamu, dia, mereka…. Kita semua J
Kegiatan Megaji Di Yayasan Cendikia Attaufiqurrohman |
Mereka sudah beraktifitas sebelum Adzan Subuh berkumandang |
Setelah selesai kegiatan, konsumsi di bagikan untuk di bawa pulang |
Berpamitan sebelum pulang, sambil bershalawat... #indahnya |
Foto bareng santri pria... inilah penjemput impian masa depan :) |
No comments:
Post a Comment
" Berikan Komentar Anda Untuk Postingan Ini "