HALAMAN

02 December, 2013

PARA PENCARI SEDEKAH [Profesi VS Pahala] / Bag.1



Gambar Ilustrasi : di ambil dari sini
“ Terus-menerus seseorang itu suka meminta-minta kepada orang lain hingga pada hari kiamat dia datang dalam keadaan di wajahnya tidak ada sepotong dagingpun.” (HR. Al-Bukhari no. 1474 dan Muslim no. 1725).



29 November 2013

Berita di salah satu jejaring social membuatku shock, terperanjat, seolah tidak terima kenyataan dan serasa aneh aja… pasalnya surat kabar elektronik ternama di Indonesia yang masih satu grup dengan Transcorp itu mengabarkan bahwa di daerah Pancoran 2 orang pengemis terjaring razia tanggal 26 November 2013 malam oleh petugas Suku Dinas Sosial setempat dan tertangkap tangan memiliki uang sejumlah 25jt di dalam gerobaknya. Apalagi ketika di beritakan dari hasil investigasi bahwa uang tersebut adalah penghasilannya selama 2 minggu bekerja sebagai pengemis Ibukota. Hwaaa….itu gajiku di tambah bonus dan nyambi sana-sini sebulan juga belum tentu bisa menyamakan penghasilannya yang super duper ….anjriiit !!! #ilfil L

Berita tentang pengemis yang memiliki penghasilan jauh di atas rata-rata penghasilan pegawai kantoran.. bagiku kabar ini bukan untuk yang pertama kalinya. Itulah sebabnya aku enggan untuk memberikan seseorang yang menjadikan mengemis sebagai satu profesi. Bahkan jauh sebelum ada berita ini aku sudah memutuskan untuk tidak memberikan uang atau apapun bentuknya kepada para “actor” jalanan (baca=pengemis), ditambah lagi dengan pemberitaan sejenis yang semakin marak seperti sekarang ini. Karena secara tidak langsung hal tersebut merupakan bentuk dukungan terhadap orang – orang seperti mereka untuk malas mencari penghasilan yang lebih baik. Meskipun hasilnya sangat besar dan nyaris tidak masuk akal, tapi dimata orang lain yang melihat, pekerjaan tersebut selain tidak manusiawi juga semakin “mengotori” imej ibukota yang sudah krodit dengan pencitraan banjir kelas internasional, dengan peringkat 10 Negara yang tingkat korupsinya terhebat di dunia, belum lagi Dewan Perwakilan Rakyatnya yang punya tingkah “nyeleneh” seolah masalah hanya bisa di bahas pada sidang paripurna dan berpikir tentang APBN sambil memejamkan mata seraya berkata “YA” pada setiap hasil akhir sidang [#capekDeh]. Di tambah lagi ada pengalaman buruk yang membuatku enggan memberikan kesempatan sang actor jalanan untuk mencuri hatiku dengan mengiba agar diberikan sejumlah uang meskipun yang di terima adalah kumpulan receh yang kesannya remeh temeh.
.
Ah…. Ada-ada saja bentuk kreatifitas mereka dengan segala daya upaya untuk mengais rezeki di ibukota sementara ide-idenya dalam rangka mengelabui calon korban nyaris tidak pernah terpikir oleh kita yang sudah sibuk dengan banyak aktifitas yang terlalu penting.

***     


Oktober 1999
Suasana terminal pulogadung begitu ramai. Asap kendaraan umum yang mengepul ke udara membuat keadaan semakin krodit. Setelah penantian panjang, sampailah Kowanbisata jurusan Pulogadung – Cileungsi di hadapanku. Kemudian ku naiki bis yang kala itu baru saja masuk terminal menurunkan sisa penumpang untuk mencari penumpang baru, sambil kepanasan akupun menunggu kalau-kalau saja ada pedagang asongan yang membawa minuman dingin menjajakan dagangannya di atas bis. Terbayang sudah fantasi sejuknya air mineral atau teh Bot*l dingin yang mengalir lewati tenggorokan buat melepas dahaga. Bayangan itu makin menari – nari di otak kananku. Tak terasa berkali-kali sudah aku menahan ludah dan menunggu do’a yang tak kunjung terkabul, hingga akhirnya aku rela untuk mengantuk di atas bis yang tak bergerak sebelum kursi penumpang terisi penuh.

Perjalanan kali ini sebenarnya aku hanya menemani Pa’i, sahabat kentalku semasa jaya putih abu. Ia baru saja mengantarkan barang dagangannya di daerah Pluit. Kala itu ia sudah menjadi seorang mahasiswa kedokteran yang nyambi menjadi pedagang handphone dengan system delivery order.  Sementara status sosialku masih saja menjadi seorang pengangguran tanpa acara. Kebayang deh susahnya mencari kegiatan sampai – sampai aku ikhlas mengantarnya melakukan pekerjaan sambilan untuk sekedar membunuh waktu agar tak jenuh setiap hari berada di rumah.

Dan kini giliran aku beristirahat di atas Kowanbisata yang pengap sementara bis mulai berjalan mencari penumpang di tengah terik matahari yang panasnya serasa melelehkan kulit.

Di lampu merah perempatan Boulevard kelapa gading bis kena giliran berhenti. Dan terciptalah adegan berikut:

[maaf jika ada yang tersinggung, adegan ini tidak untuk mendiskriminasikan profesi sejenis, sekali lagi maaf]
Seorang pengemis masuk terseok – seok… pria usia antara 35-38 tahun dengan tubuh kurus berisi, raut wajah yang pucat dan suara mengiba berjalan dengan tangannya sementara kedua kakinya di seret bak suster ngesot di film-film. Di tangannya terselip kayu yang sudah di modifikasi dengan karet ban supaya dapat menjadi sandal / alas berjalannya. Seperti pengemis pada umumnya, pakaian compang – camping jadi andalan properti. Setiap kursi penumpang tak luput dari sambangannya sambil menadahkan tangan, berharap ada penumpang yang tergerak hatinya untuk memberikan sedikit rezeki sekedar buat makan siang, kilahnya dalam petikan kata – kata yang terucap di sela gerakannya yang pelan tapi pasti mulai mengarah kepada kursi yang aku duduki. Semakin mendekatiku tapi ku perhatikan sejak awal masuk hanya beberapa yang memberikan uang logam kepadanya.

Posisi dudukku ada di depan pintu keluar paling belakang. Jadi kalo dari depan setelah melewati kursi baru keluar menuruni tangga.

Gepeng
:
[salam] “..Mas kasiaaan mas, belum makan dari pagi mas..”

Yudha
:
[melambaikan tangan sambil tersenyum]

Gepeng
:
[mengulangi perkataan yang sama setengah memaksa] “mas kasiaaan maas, belum makan dari pagi maas..”

Yudha
:
[kembali melambaikan tangan sambil tersenyum] “Maaf ya Pak..”

Gepeng
:
[dengan gerakan tangan ke arah mulut]“ayolah mas…. Tolong saya, buat makan aja maaas”

Yudha
:
Iya, Pak maaf, saya juga belum….

Gepeng
:
[sambil merogoh tas kain yang dibawanya di keluarkan sejumlah uang hasil ngemis] “Ooo… JADI MAS BELUM MAKAN JUGA? NIIIH MAS … SAYA KASIH, AMBIL MAS…AMBIL!!!”[marah – marah ngga jelas]


Kemudian pengemis itu keluar dari bis dengan gegap gempita mengeluarkan rasa kesalnya hingga lupa kalau dia sedang berperan sebagai orang yang berjalan ngesot, pake nunjuk-nunjuk ke bis juga [#tepokJidat].  Di tambah melangkah dengan tangan hampa karena mungkin menurut anggapannya satu bis tidak mengerti keadaannya. Dan beberapa receh hasil memintanya kepada penumpang di dalam bis tadi ia buang begitu saja tanpa memikirkan hati orang yang masih melongo melihat sikapnya yang ajaib. Entah apalah maksudnya…. Tapi itulah yang menjadikan aku trauma lebih selektif dalam memberikan belas kasih kepada para actor jalanan seperti bapak tadi. [Bersambung…]


***     









No comments:

Post a Comment

" Berikan Komentar Anda Untuk Postingan Ini "